Jemaah Haji Keluhkan Sistem Syarikah Baru : Sistem Syarikah Dinilai Picu Kekacauan di Lapangan
Info Update seputar Haji & Umroh
5/15/20252 min read
Arab Saudi, Mei 2025 — Pelaksanaan ibadah haji tahun ini diwarnai berbagai keluhan dari jemaah akibat perubahan mendadak dalam sistem layanan di Arab Saudi. Salah satu sorotan utama datang dari penerapan sistem syarikah baru, yang dinilai justru menimbulkan kekacauan dalam penempatan dan pengelompokan jemaah, terutama suami-istri dan lansia yang seharusnya mendapatkan perhatian khusus.
Sebelumnya, layanan jemaah haji di Arab Saudi dikelola oleh satu entitas tunggal, yaitu syarikah Mashariq, yang sudah dikenal dan berpengalaman dalam menangani jemaah asal Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Namun, tahun ini, sistem berubah drastis. Terdapat delapan syarikah baru yang ditunjuk untuk menangani jemaah dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Sayangnya, perubahan ini tidak dibarengi dengan koordinasi dan persiapan matang antara pihak Arab Saudi dan Kementerian Agama RI.
“Bayangkan, kloter (kelompok terbang) yang selama ini sudah tertata rapi justru jadi berantakan. Banyak pasangan suami-istri dipisahkan, bahkan jemaah lansia tidak bersama pendampingnya,” ungkap salah satu petugas haji yang enggan disebutkan namanya.
Kondisi ini membuat banyak jemaah merasa kecewa dan kebingungan. Beberapa jemaah lansia, yang seharusnya mendapatkan fasilitas dan pengawasan khusus, malah ditempatkan jauh dari keluarga atau pendamping mereka. Sementara, sejumlah jemaah yang sebelumnya tergabung dalam satu kloter, kini tersebar dalam penempatan yang berbeda-beda sesuai dengan penunjukan syarikah baru tersebut.
Anggota Komisi VIII DPR RI, KH. Maman Imanulhaq, menanggapi serius permasalahan ini. Ia mendesak Menteri Agama segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan sistem baru ini. Menurutnya, kenyamanan dan kekhusyukan jemaah dalam beribadah harus menjadi prioritas utama.
“Saya minta Kemenag segera melakukan negosiasi ulang dengan otoritas Arab Saudi agar syarikah dibagi secara lebih adil dan logis. Misalnya, berdasarkan wilayah asal jemaah agar mereka tetap bisa bersama keluarga atau kelompok asal,” tegas Kiai Maman dalam keterangannya.
Ia juga menyoroti bahwa kebijakan sepenting ini seharusnya tidak diterapkan secara mendadak tanpa sosialisasi dan kesiapan teknis. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Agama dan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH), diharapkan segera mencari solusi konkret agar kondisi ini tidak terus berlarut.
“Jutaan umat Muslim dari Indonesia datang ke Tanah Suci untuk beribadah, bukan untuk menghadapi kekacauan sistem. Jangan sampai ibadah suci ini terganggu hanya karena kebijakan yang kurang matang,” tambahnya.
Di sisi lain, sejumlah pengamat haji juga menilai bahwa transformasi sistem syarikah di Arab Saudi perlu dikaji secara mendalam. Meskipun tujuan awalnya adalah meningkatkan kualitas pelayanan, namun implementasi yang terburu-buru tanpa mempertimbangkan kesiapan di lapangan justru berdampak negatif.
Dalam kondisi seperti ini, sinergi antara pemerintah Indonesia dan otoritas haji Arab Saudi menjadi sangat krusial. Evaluasi bersama, pemetaan ulang penempatan jemaah, dan komunikasi intensif dengan pihak syarikah harus segera dilakukan untuk menghindari potensi masalah serupa di masa depan.
Pemerintah pun diharapkan lebih terbuka dalam menyampaikan dinamika dan kendala di lapangan kepada publik, terutama keluarga jemaah di tanah air. Transparansi informasi akan membantu menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan haji yang profesional dan humanis.
Dengan waktu yang masih cukup menjelang puncak pelaksanaan ibadah haji, semoga segala kendala yang terjadi bisa segera teratasi. Karena sejatinya, haji bukan hanya perjalanan fisik, tapi juga spiritual, yang semestinya dilandasi kenyamanan, ketenangan, dan kekhusyukan.

